Senin, 13 Januari 2014

Batu Menangis, Gadis yang Durhaka kepada Ibunya

Selamat Pagi readers! kali ini saya membagikan cerita, yang dapat kita ambil sebagai pelajaran. cerita rakyat ini berasal dari Kalimantan Timur, "Batu Menangis" 

Bagaikan bulan yang elok, tubuh laksana pualam, rambut terurai seperti bintang iklan shampo(?)... begitulah umpama yang pantas untuk gadis cantik yang tinggal bersama ibunya yang sederhana di sebuah desa terpencil itu. Semua orang sepakat mengakuinya saat memandang gadis itu. Tak pernah lelah ia merias dirinya. Cermin di dinding rumahnya tak jemu meski gadis nan elok itu terus memandanginya. Namun karena terbius oleh kecantikan itulah si gadis ini menjadi angkuh dan malas. Ia lupa akan kecantikan yang dikaruniakan Tuhan itu adalah berkah yang harus disyukuri dengan kerendahan hati.
Ibu gadis ini adalh ibu yang baik hati, lembut, dan bijaksana. Ia dengan sabar menemani gadis ini. ia hanya berharap suatu ketika anak gadisnya menyadarinya betapa keelokan parasnya tak guna apabila hatinya masih angkuh. Semakin sedih sang ibu melihat anaknya yang cantik itu juga pemalas, dan semua kemauannya harus dituriti, tak jarang permintaan itu tak masuk akal. Tetapi sang ibu terus berusaha sebisa mungkin menuruti kehendak anak gadisnya itu. Di dalam hatinya ia berdoa, semoga Tuhan menolong anak gadisnya itu. Ibu itu tak punya daya untuk merubahnya tanpa kuasa Tuhan.
Suatu hari, seperti biasa gadis itu mengurung dirinya di dalam kamarnya. Ia tak rela matahari merusak kulitnya yang halus. Ia enggan debu-debu mengotori wajahnya. Ia tak sudi orang-orang mencuri kemolekannya.
                “Ibu....!”
                Gadis itu memanggil ibunya dengan suara yang keras.
                Sang ibu tergopoh menghampirii putrinya.
“Bukankah sudah berulangkali aku bilang bahwa setiap aku bangun ibu harus sudah menata kamar ini hingga rapi, menyediakan lulur dan air hangat, dan membuatkan minuman sari buah untukku...?” katanya keras dan marah.
Ibunya selalu berusaha sabar, “bukankah kamu sudah dewasa, Anakku. Kau bisa mengerjakan semua itu sendiri.”
“ibu tahu sendiri, aku sedang sibuk.” Jawab gadis itu.
Sang ibu hanya mengelus dada. Hatinya gelisah. Kesibukan mempercantik diri, hanya itulah yang selalu dilakukan putrinya yang pemalas itu.
Suatu hari, sang ibu mencoba untuk membujuk anaknya agar mulai merubah tabiat buruknya.
“ibu sudah tua, dan jika ibu dipanggil oleh Tuhan makan ibu tak khawatir lagi engkau bisa mandiri,” kata ibunya.
“aku tidak pernah meminta kamu jadi ibuku.” Ketus sang gadis cantik itu.
Ibu itu sungguh sedih mendengarnya.
“baiklah, Anakku. Ibu hanya memohon agar kamu tidak mengurung diri di rumah. Kenalilah lingkunganmu agar ibu tenang jika suatu saat dipanggil Tuhan” ujar ibu itu dengan penuh kesabaran.
Hari semakin berlalu. Akhirnya sang gadis mau menuruti kehendak ibunnya. Ia tidak keberatan untuk ke mana pun bersama ibunya. Ke kota, ke toko, ke rumah kerabat, bahkan hingga belanja di pasar. Tapi gadis itu mengajukan syarat bahwa ibunya tak diperbolehkan mengakui di depan umum bahwa ia ibunya. Sebagai seorang ibu tentulah hatinya teriris mendengar itu.
“oh Tuhan, mangapa untuk mengakui aku ibunya saja dia demikian mallu? Mengapa anakku seangkuh itu, ya Tuhan...”
Orang-orang benar-benar tak percaya kedua perempuan itu adalah ibu dan anaknya. Penampilan keduanya alangkah berlawanan. Si putri begitu mewah, sementara ibu teramat sederhana. Bahkan sang ibu yang sudah tua dengan pakaian yang kusam itu bagaikan seorang pembantu saja layaknya. Apalagi sang putri tak pernah mengijinkannya berada di dekatnya. Jika berjalan, sang ibu harus berada di belakangnya.
“apakah mungkin di ibunya?”
“ah mungkin saja bukan?”
“Tapi...”
Orang-orang bebisik-bisik mempergunjingkan hal itu setiap bertemu keduanya.
“bukan! Dia budakku” kata gadis itu.
Alangkah terlukanya hati sang ibu mendengar itu. Hatinya menangis dan ia tak berdaya menahan sakit hatinya. Ia berbisik dan memohon kepada Tuhan.
“dengan cara apa Engkau menghukum anak yang sombong dan berhati busuk seperti ini, ya Tuhan? Jika dia anak kecil, hambamu pasti mampu memahaminya. Tapi ia sudah dewasa dan memiliki akal. Sungguh hamba tidak bisa mengerti.” Rintihnya salam hati.
Tuhan selalu mendengar jeritan hati hambanya. Apapun yang dikehendaki Tuhan pastilah suatu kebaikan. Maka ketika ia menghukum gadis yang sombong itu, maka Tuhan pasti berkehendak baik untuk umatnya.
Suatu hari gadis itu tiba-tiba berubah menjadi batu karena hatinnya yang congkak dan keras. Gadis itu menyadari kesalahannya, tapi terlambat karena hukuman telah menimpanya. Ia pun hanya bisa menangis. Hingga sekarang, batu itu dikenal sebagai “Batu Menangis”
Cerita rakyat ini menyimpan pesan untuk para anak agar menghormati orang tuanya. Dan tentunya selalu bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan, tetap rendah hati.

Rosa, Dhea: 2007, “Cerita Rakyat 33 Provinsi dari Aceh sampai Papua”, Yogyakarta:IndonesiaTera

1 komentar:

Posting Komentar